Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi
·
PENGERTIAN
GHIBAH
Menurut Imam Al-Ghazali
sebagaimana yang dinukil oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkar hal.
281 :
الغيبة
هي ذكرك أخاك بما يكره
Ghibah adalah kamu
menyebut saudaramu mengenai apa-apa yang dia benci. (Sa’di Abu Jaib, Al-Qamus
Al-Fiqhi, hal. 279).
Menurut
Syaikh Sa’di Abu Jaib :
الغيبة : أن تذكر
أخاك من ورائه من عيوب يسترها ، ويسوءه ذكرها : فإن كان صدقا سمي غيبة . وإن كان
كذبا سمي بهتانا
Ghibah
adalah kamu menyebut saudaramu di belakangnya mengenai aib-aib yang ditutupinya
dan ia menganggap buruk jika disebutkan; jika itu benar namanya ghibah, jika
itu dusta namanya bohong. (Sa’di Abu Jaib, al-Qamus Al-Fiqhi, hal. 279; Al-Mu’jamul
Wasith, hal. 667).
Menurut
Syaikh Rawwas Qal’ahjie :
الغيبة
: إخبار عن مساوئ شخص
Ghibah adalah
pemberitahuan tentang keburukan-keburukan seseorang. (Rawwas Qal’ahjie, Mu’jam
Lughah Al-Fuqaha`, hal. 33).
·
HUKUM
GHIBAH
Hukum ghibah adalah haram,
sesuai firman Allah SWT:
ولا يغتب بعضكم بعضا أيحب أحدكم أن يأكل لحم
أخيه ميتا فكرهتموه ) ( الحجرات : 12 )
“Janganlah sebagian
kamu menggunjing sebagian lainnya, sukakah salah seorang kamu memakan daging
saudaranya yang sudah mati maka pasti kamu membencinya.” (QS Al-Hujurat : 12).
Hukum ghibah adalah
haram, sesuai sabda Nabi SAW :
لا تحاسدوا ولا تباغضوا ولا تدابروا ولا يغتب بعضكم بعضا وكونوا عباد الله
اخوانا
“Janganlah kamu saling
mendengki, saling membenci, dan saling memusuhi. Janganlah sebagian kamu
menggunjing sebagian yang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang
bersaudara.” (Hadis Shahih) (lihat Ibnu Abi Dunya, Ash-Shumtu wa Adabul
Lisan, hal. 300)
Hukum ghibah adalah
haram, sesuai sabda Nabi SAW:
كل مسلم حرام دمه وماله وعرضه
“Setiap muslim haram
darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (Hadis Shahih)
(lihat Ibnu Abi Dunya, Ash-Shumtu
wa Adabul Lisan, hal. 299)
·
GHIBAH
YANG DIHALALKAN
Hukum asal ghibah
adalah haram, namun dihalalkan pada kasus tertentu sebagai perkecualian
berdasarkan dalil-dalil syar’i.
Ibnu Abi Dunya dalam
kitabnya Ash-Shumtu wa Adabul Lisan setelah menerangkan bab haramnya
ghibah, membuat bab yang berjudul:
باب الغيبة التي يَحِلُّ لصاحبها
الكلام بها
BAB GHIBAH YANG HALAL
DIBICARAKAN BAGI ORANG YANG MENGGHIBAH (Ibnu
Abi Dunya, Ash-Shumtu wa Adabul Lisan, hal. 335).
Imam Nawawi dalam
kitabnya Al-Adzkar setelah menerangkan bab haramnya ghibah, juga membuat
bab serupa dengan judul:
باب بيان ما يباح من الغيبة
BAB PENJELASAN
MENGENAI APA SAJA GHIBAH YANG DIBOLEHKAN
(Imam Nawawi, Al-Adzkar, hal.
292).
Ibrahim an-Nakha`i RA
(seorang tabiin) berkata:
ثلاث لا يعدونه من الغيبة : الامام الجائر والمبتدع
والفاسق المجاهر بفسقه
“Tiga perkara yang mereka
tidak menganggapnya ghibah: imam yang zalim, orang yang berbuat bid’ah, dan
orang fasik yang terang-terangan dengan perbuatan fasiknya.”
(Ibnu Abi Dunya, Ash-Shumtu
wa Adabul Lisan, hal. 337).
Umar bin Khaththab RAٌِ berkata:
ليس لفاجر حرمة
“Orang yang fajir
(tidak taat) tidak memiliki kehormatan (boleh di-ghibah).” (Ibnu Abi Dunya, Ash-Shumtu
wa Adabul Lisan, hal. 342).
Al-Hasan RA (seorang
tabiin) berkata:
ثلاث ليس لهم غيبة : صاحب هوى والفاسق المعلن بالفسق والامام الجائر
Tiga orang yang boleh
ghibah padanya : orang yang mengikuti hawa nafsu, orang fasik yang
terang-terangan dengan kefasikannya, dan imam yang zalim. (ibid, h. 343)
Imam Nawawi dalam Al-Adzkar
dan Riyadhush Shalihin juga menyebutkan 6 (enam) macam ghibah yang
dibolehkan yaitu :
(1)
Ghibah untuk mengadukan kezaliman (at-tazhallum), maka boleh orang yang
dizalimi mengadukan kezaliman yang dialaminya kepada penguasa atau hakim atau
selain keduanya yang mempunyai kekuasaan
atau kemampuan untuk menyelamatkannya dari orang yang menzaliminya.
Misal: Korban kezaliman
berkata, ”Fulan telah menzalimi saya, berbuat begini kepada saya, dst…” (Imam
Nawawi, Al-Adzkar, hal. 292).
(2)
Ghibah untuk minta tolong (al-isti’anah) menghilangkan kemungkaran dan mengembalikan
orang yang bermaksiat ke jalan yang benar.
Misal: Seseorang
berkata kepada orang yang diharapkan mempunyai kemampuan utk menghilangkan
kemungkaran, ”Si Fulan telah berbuat begini dan begini, maka tolong peringatkan
dia agar tidak melakukan perbuatan itu.” (Imam Nawawi, Al-Adzkar, hal.
292).
(3)
Ghibah untuk minta fatwa (istifta`) misal seseorang berkata kepada
mufti, ”Ayahku atau saudaraku telah menzalimiku, apakah mereka berhak berbuat
demikian menurut syara’?” Atau, ”Suamiku berbuat demikian, apakah
dibolehkan?”
Yang lebih berhati-hati
adalah tidak melakukan ta’yin (menyebut nama tertentu), misal:“Seorang suami
berbuat demikian kepada isterinya, bolehkah?”
Namun ta’yin boleh
hukumnya scr syar’i. (Imam Nawawi, Al-Adzkar, hal. 292).
(4)
Ghibah untuk memperingatkan (tahdzir) atau menasehati kaum muslimin agar
tidak terjatuh dalam keburukan.
Misal: Celaan yang
dilakukan oleh ulama Jarh wa Ta’dil dalam ilmu hadits. Ini boleh menurut
Ijma’, bahkan wajib karena ada hajat yang dibenarkan syara’.
Misal: Ada orang minta
nasehat (istisyarah) kepada kita ttg rencana pernikahannya dengan
sseorang, boleh kita mengatakan,”Tidak baik kamu menikah dengannya,” atau
menjelaskan secara jelas keburukan calon suami/isterinya. (Imam Nawawi, Al-Adzkar,
hal. 293).
Misal: Jika ada
seseorang akan membeli barang dagangan yang ada cacatnya dan kita tahu, maka
kita wajib menjelaskan cacatnya jika dia tidak mengetahuinya (Imam Nawawi, Al-Adzkar,
hal. 293).
Misal: Jika ada seorang
mutafaqqih (sedang belajar fiqih) yang sering belajar kepada orang ‘alim yang
berbuat bid’ah atau berbuat fasik, dan kita khawatir mutafaqqih itu dapat
terpengaruh, maka kita wajib menasehati mutafaqqih itu, dengan syarat tujuan
kita semata-mata nasehat, bukan karena dengki (hasad). (Imam Nawawi, Al-Adzkar,
hal. 293).
Misal: Jika ada
seseorang yang mempunyai kekuasaan (wilayah), misalnya guberbur (wali)
lalu dia terbukti tidak layak memegang kekuasaan itu atau dia terbukti fasik
atau lalai, maka wajib kita menyampaikan hal itu kepada orang yang mempunyai
kekuasaan umum (wilayah ‘ammah) seperti Khalifah, untuk menggantinya
atau menghilangkan keburukannya. (Imam Nawawi, Al-Adzkar, hal. 293).
(5)
Ghibah terhadap orang yang terang-terangan berbuat fasik atau bid’ah, seperti
orang yang orang yang minum khamr secara terang-terangan. Boleh kita
menyebutkan perbuatannya itu kepada
orang lain. (Imam Nawawi, Al-Adzkar, hal. 293).
(6)
Ghibah untuk memperkenalkan (at-ta’rif). Misalnya ada orang yang dikenal
dengan nama “si Buta”, “si Tuli”, dsb, maka boleh menyebut nama-nama itu dengan
niat untuk memperkenalkan, bukan dengan niat menjelek-jelekkan. Jika dengan
niat menjelek-jelekkan hukumnya haram. (Imam Nawawi, Al-Adzkar, hal.
293).
Imam Nawawi
berkata,”Itulah 6 (enam) jenis ghibah yang dibolehkan oleh para ulama,
di antaranya seperti yang disebutkan oleh Imam Ghazali dalam Ihya` Ulumiddin.
Dalil-dalilnya adalah hadits-hadits sahih yang masyhur, dan kebanyakan jenis
ghibah tersebut disepakati oleh ulama akan kebolehannya.” (Imam Nawawi, Al-Adzkar,
hal. 293).
·
HADITS-HADITS
TENTANG GHIBAH YANG DIHALALKAN
Berikut ini sebagian
hadits-hadits shahih yang menjadi dasar bolehnya 6 (enam) jenis ghibah tersebut
(lihat Riyadhus Shalihin, karya Imam Nawawi):
(1) عن عائشة
رضي الله عنها أن رجلا استأذن على النبي صلى الله عليه وسلم فقال : ائذنوا له بئس
أخو العشيرة
(1)
Dari ‘A`isyah RA bahwa seorang laki-laki minta izin kepada Nabi SAW, kemudian
Nabi SAW bersabda, ”Berilah izin kepada orang itu, dia adalah orang yang paling
jahat di tengah-tengah keluarganya.” (HR Bukhari & Muslim).
(2) عن عائشة
رضي الله عنها قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ما أظن فلانا وفلانا
يعرفان من ديننا شيئا
(2)
Dari ‘A`isyah RA dia berkata, telah bersabda Rasulullah SAW,” Aku tidak mengira
sedikitpun kalau si Fulan dan si Fulan itu mengetahui tentang agama kita.” (HR
Bukhari).
(3) عن فاطمة
بنت قيس رضي الله عنها قالت أتيت النبي صلى الله عليه وسلم فقلت : إن أبا الجهم
ومعاوية خطباني، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أما معاوية فصعلوك لا مال
له، و أما أبو الجهم فلا يضع العصا عن عاتقه
(3)
Dari Fathimah binti Qais RA, dia berkata, “Aku pernah mendatangi Nabi SAW dan
berkata, ’Sesungguhnya aku telah dikhitbah (dilamar) oleh Abul Jahm dan
Mu’awiyah.’ Kemudian Rasulullah SAW bersabda, ’Adapun Muawiyah maka ia orang
miskin yang tak punya harta. Sedang Abul Jahm tak pernah meletakkan tongkat
dari bahunya (suka memukul).’ (HR Bukhari & Muslim).
(4) عن عائشة
رضي الله عنها قالت قالت هند امرأة أبي سفيان للنبي صلى الله عليه وسلم فقلت : إن
أبا سفيان رجل شحيح وليس يعطيني ما يكفيني وولدي إلا ما أخذت منه وهو لا يعلم قال
خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف
(4)
Dari ‘A`isyah RA, dia berkata, “Hindun isteri istri Abu Sufyan berkata kepada
Nabi SAW, ’Sesungguhnya Sufyan adalah seorang laki-laki yang bakhil, dia tidak
memberiku apa yang mencukupi kebutuhanku dan kebutuhan anakku, kecuali aku
mengambil darinya sedang dia tak tahu. Rasulullah SAW bersabda, “Ambillah apa-apa
yang mencukupimu dan mencukupi anakmu dengan ma’ruf.” (HR.Bukhari &
Muslim).
·
ALHAMDULILLAH
WASSALAAM
No comments:
Post a Comment